Rabu, 30 Oktober 2019

Budaya, Bahasa, Dan Komunikasi Dalam Menterjemahkan

BUDAYA, BAHASA,  DAN  KOMUNIKASI DALAM MENTERJEMAHKAN
sumardiono, LP 2007
Abstract
Language is a product of a specific culture. Language, therefore reflect the values and norms of the culture. These reflect in its vocabulary and metaphors. In translating a text, a translator must take cultural considerations into accounts. A translation without taking cultural aspect into one of the consideration will produse an unacceptable translation.
Pengantar
Menerjemahkan teks pada dasarnya adalah menerjemahkan budaya karena bahasa pada hakekatnya adalah produk dari budaya tertentu. Budaya tidak saja menyangkut apa yang tampak pada permukaan. Budaya melibatkan nilai-nilai kehidupan dan pergaulan serta apa yang diyakini dari sebuah masyarakat. Budaya adalah gaya hidup manusia biasa yang menyangkut nilai-nilai, keyakinan, dan prasangka yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat dalam wadah kebahasaan dan kelompok sosial tertentu yang membedakannya dengan kelompok yang lain (Tomasouw, 1986:1.2). Nilai-nilai dan keyakinan serta prasangka budaya itu tentu saja akan terealisasikan dalam bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, menerjemahkan, disadari atau tidak, tidak akan bisa lepas dari tindakan mentransfer budaya.
Language is a product of a specific culture Budaya, Bahasa,  Dan  Komunikasi Dalam Menterjemahkan
gambar ilustrasi budaya
Teks ini akan menjelaskan secara singkat hubungan antara bahasa dan budaya, bagaimana aspek-aspek budaya perlu diperhatikan dalam proses penerjemahan serta contoh-contoh penerjemahan yang perlu memperhatikan factor budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran; metafora dan culture-specific expression

Bahasa dan Budaya
Budaya didefinisikan Newmark (1995) sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas dari masyarakat tertentu yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat untuk mengekspresikan. Jadi budaya diekspresikan oleh pendukungnya dengan sebuah media ekspresi yang disebut bahasa. Atau bisa pula kita simpulkan bahwa bahasa adalah budaya verbal dari suatu masyarakat. Budaya adalah ide, bahasa adalah ekspresinya.
Sementara, seperti yang dikatakan Larson (1984), bahwa budaya adalah cetak biru sebuah masyarakat. Budaya memberi petunjuk bagaimana orang-orang dalam sebuah masyarakat bersikap dan berperilaku (Tomasouw, 1986:1.3). Budaya mengendalikan perilaku kita di dalam masyarakat dan menempatkan kita pada apa yang disebut status sosial. Budaya memberitahu kita apa yang diharapkan orang lain terhadap kita dan apa yang bisa kita harapkan dari orang-orang di sekeliling kita.
Singkatnya, budayalah yang menyatukan orang-orang di dalam sebuah masyarakat. Untuk menjalankan ini semua, budaya membutuhkan sebuah perangkat untuk mengikat antar anggotanya. Perangkat inilah yang menyatukan aggotanya akan nilai-nilai dan norma serta keyakinan mereka. Bahasa mengkomunikasikan nilai-nilai ini di antara anggotanya. Bahasa kemudian tidak saja perangkat yang mengkumunikasikan nilai-nilai itu secara pasif, bahasa pun kemudian merekam apa yang diyakini suatu masyarakat serta nilai-nilai dan norma.
Budaya merupakan latar belakang peristiwa linguistik dengan bahasa sebagai latar depannya. Apa yang tampak dalam panggung linguistik merupakan produk dari budaya yang melatarbelakanginya. Kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa apa yang menjadi aturan-aturan kebahasaan sebuah bahasa pada dasarnya adalah realisasi nilai-nilai dan keyakinan masyarakat penutur bahasa tersebuat. Dengan kata lain, kita bisa berkeyakinan bahwa bahasa adalah sebuah cermin besar dari budaya masyarakat penuturnya. Bahasa merupakan ciri yang paling menonjol dari sebuah budaya yang bisa digambarkan sebagai sikap simplistik sebagai totalitas keyakinan dan tindakan suatu masyarakat tertentu (Nida, 2001:13).
Pada sebuah budaya yang berkeyakinan bahwa pembeda gender adalah sesuatu yang penting, misalnya, maka bahasa tersebut akan merekam nilai-nilai itu dalam kategori leksikal atau gramatikanya. Sebagian bahasa di dunia merekam keyakinan ini. bahasa Inggris, misalnya mengenal perbedaan kata ganti orang ketiga untuk laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, bahasa inggris bahkan membuat perbedaan kata benda tertentu berdasar gender (Wardhaugh, 1997:312). Man-woman, boy-girl, widow-widower, master-mistress adalah sebagian kecil contoh. Di sini bahasa merefleksikan nilai-nilai sosial sebuah masyarakat.
Bahasa tidak bisa dilihat sebagai fenomena yang terpisah pada sebuah ruang hampa tapi merupakan bagian integral dari sebuah kebudayaan (Hornby: 1988:39) sebagai bagian integral dari sebuah kebudayaan, bahasa bersifat dinamis, mengikuti dinamika kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Konsekuensinya, apabila nilai-nilai sosial masyarakat berubah, bahasa pun berubah. Dalam bahasa Inggris saat ini kita menyaksikan banyak kata-kata yang pada awalnya terikat gender seperti contoh di atas tidak dipakai lagi. Pemakai bahasa Inggris kemudian lebih memilih kata-kata yang tidak bias gender seperti police officer sebagai ganti policeman atau policewoman, chair person sebagai ganti chairman. Ini semua adalah konsekuensi dari perubahan masyarakat dari patriarkis menjadi masyarakat yang tidak lagi menerapkan diskriminasi gender. Ini adalah bukti dari pernyatan Hagfors bahwa semua teks/bahasa terikat oleh tempat dan waktu serta konteks social di mana teks itu diproduksi yang mencerminkan kultur dan jamannya (Hagfors, 2003:3)
Bahasa juga mengendalikan cara orang bersikap terhadap orang lain dalam masyarakat tuturnya yang merupakan cermin nilai-nilai relasi sosial dan kekuasan dalam masyarakat tersebut. Budaya Jawa, misalnya, merupakan budaya yang sangat mengatur relasi sosial antar anggotanya yang berdasar status sosial.
Bahasa sendiri mencerminkan beragam aspek dari budayanya. Misalnya, budaya yang mengenal kelas social seperti budaya Jawa akan merekam pembagian kelas soial ini dalam bahasa mereka. Nilai-nilai dan norma relasi sosial ini terekam dalam pemakaian level speech dalam bahasa Jawa. Pemakaian level speech atau undha usuk dalam bahasa Jawa mengatur ragam bahasa yang dipakai berdasarkan siapa si pembicara dan siapa yang diajak bicara serta siapa yang sedang dibicarakan. Seseorang dengan status sosial lebih rendah, bisa karena umur, kedudukan dalam pekerjaan maupun dalam masyarakat, akan menggunakan ragam bahasa lebih tinggi untuk berbicara dengan mereka dengan status sosial yang lebih tinggi demikian sebaliknya. Seorang pembicara yang membicarakan seseorang dengan status sosial lebih tinggi juga menuntut pemakaian ragam bahasa tinggi. Pemakaian ragam bahasa yang tidak tepat akan berakibat si pembicara mendapat cap tidak sopan dan akan menyinggung lawan bicara.
Bahasa merupakan alat ekspresi budaya sekaligus individual dari si penutur yang memandang dunia melalui bahasanya (Hornby, 1988:40). Jadi dalam sebuah bahasa terangkum dua ekspresi sekaligus, ekspresi individual dan ekspresi budaya di mana si penutur tinggal. Ketika seseorang berbicara sebenarnya ia sedang mengkomunikasikan dua ide sekaligus, ide yang bersifat individual dan ide dari kebudayaannya.
Aspek Budaya dalam Penerjemahan
Pada tahun 1923 seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski mengusulkan sebuah istilah yang disebut ‘konteks situasi’. Ia mempelajari penduduk pulau Trobriand dan bahasanya Kiriwian. Di sana ia menyadari bahwa untuk memahami percakapan mereka seseorang harus memahami budaya mereka. Dia berpendapat bahwa bahasa hanya bisa dipahami (memiliki makna) bila konteks situasi dan konteks budaya secara implicit atau eksplisit dipahami oleh si pendengar dan si pembicara (Katan, 1999:72).
Malinowski merasa bahwa ia harus membuat perubahan dalam menerjemahkan percakapan bahasa Kiriwian ke dalam bahasa Inggris. Dia perlu menambahkan beberapa komentar tentang apa yang implisit dalam bahasa Kiriwian menjadi eksplisit dalam bahasa Inggris. Dia perlu memberi penjelasan secara eksplisit situasi tuturan yang sedang berlangsung, memberi keterangan bahwa tradisi dan keyakinan mereka terekam dalam percakapan mereka dan perlu dipahami ole pendengar dari kultur lain. Hanya dengan memahami faktor-faktor situasi dan kulturallah percakapan mereka akan bisa dipahami (Katan, 1999:72).
Bahasa adalah bagian dari budaya, karena itu penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain tidak bisa dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup tentang budaya dan struktur bahasa tersebut (Larson, 1984:431). Penerjemah harus mengetahui topic teks yang sedang ia terjemahkan. Ia harus mengetahui latar belakang budaya teks bahasa sumber sekaligus latar belakang budaya teks bahasa sasaran. Tanpa ini semua, teks terjemahan tidak akan bisa menyampaikan makna secara akurat. Penerjemahan adalah “transfer makna dari satu perangkat simbol tertentu yang terjadi pada budaya tertentu …..ke dalam perangkat symbol yang lain dalam budaya lain” (Dostert dalam Larson, 1984:431)
.Penerjemahan, yang melibatkan dua bahasa, tidak bisa terhindar dari pengaruh dua budaya dari dua bahasa yang bersangkutan, yaitu budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran (Wong dan Shen, 1999:10). Sehingga bisa dikatakan penerjemahan adalah proses komunikasi interkultural. Karena budaya dan bahasa seperti dua sisi dari koin yang sama, mentransfer bahasa pada hakekatnya juga mentransfer kebudayaan. Seorang penerjemah tidak bisa terhindar dari peran ini; peran sebagai komunikator antar dua budaya yang berbeda.
Penerjemah berusaha menjembatani gap kultural antara dua dunia dan membuat sebuah komunikasi memungkinkan terjadi di antara dua komunitas bahasa yang berbeda (Bassnett, 1992:14). Lebih jauh Bassnet menjelaskan bahwa bahasa ibarat “hati dalam tubuh budaya” sehingga “pembedahan hati tidak dapat mengabaikan tubuh yang ada di sekelilingnya”. Jadi, tindakan seorang penerjemah yang memperlakukan teks bahasa sumber terpisah dengan kultur yang melingkupinya adalah sesuatu yang berbahaya.
Menerjemahkan pada hakekatnya adalah komunikasi antar budaya. ketika seorang penerjemah menerjemahkan teks dari budaya tertentu ke dalam budaya yang berbeda, dia perlu mempertimbangkan informasi-informasi apa saja yang memungkinkan untuk disampaikan ke dalam teks bahasa sasaran sehingga bisa dipahami pembaca sasaran dan informasi mana yang justru harus disesuaikan dengan kultur bahasa sasaran. Tujuan utama penerjemahan - memindahkan teks ke dalam budaya yang berbeda - menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana komunikasi memungkinkan dari satu budaya ke budaya lain dan informasi apa saja yang dapat dikomunikasikan (ST-Pierre, 1997:8)
Bila budaya anatara bahasa sumber dan bahasa sasaran mirip, akan lebih sedikit kesulitan yang dijumpai pada proses penerjemahan dan sebaliknya, semakin besar perbedaan budaya di antara keduanya akan semakin besar kesulitan yang dijumpai pada proses penerjemahan. Kemiripan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran akan mengakibatkan pada mudahnya mencari padanan kata perkata yang tepat.
Salah satu masalah yang menyulitkan dalam penerjemahan adalah perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran (Larson, 1984:137). Sebuah kata yang dalam suatu kultur mempunyai konotasi positif mungkin mempunyai konotasi negatif dalam budaya lain. Kata babi misalkan pada masyarakat di pedalaman Papua mempunyai konotasi yang sangat positif. Babi identik dengan kemakmuran dan simbul status sosial yang tinggi. Seorang wanita, dalam, proses perkawinan, bahkan dinilai berdasarkan berapa banyak ekor babi yang ditukar sebagai mas kawinnya. Sementara pada kultur muslim dan Yahudi, babi mempunyai konotasi negative. Babi dicitrakan sebagai simbol kekotoran dan kerakusan sehingga bahkan daging dan bagian lainnya diharamkan untuk dikonsumsi. Penerjemah perlu mempertimbangkan nilai-nilai ini ketika menerjemahkan antar budaya.
Seorang penerjemah tidak hanya berhubungan dengan konsep-konsep dari sebuah sisitem budaya, melainkan dua sistem dari budaya yang berbeda (Larson, 1984:96). Setiap bahasa akan memberi label nama secara berbeda pada sebuah realitas yang sama. Perbedaan penamaan ini karena perbedaan cara dua budaya itu memandang sesuatu. Penerjemah akan berusaha seakurat mungkin dan akan mempertimbangkan tiap kata dari teks bahasa sumber dengan hati-hati sampai ia menemukan padanan yang tepat bukan saja padanan dalam rujukan benda secara umum, tapi juga rujukan benda sesuai kontksnya. Ketika kita menerjemahkan kata rice ke dalam bahasa Indonesia, di dalam kamus kita menemukan beberapa padanan sekaligus. Rice bisa mengacu pada empat benda yang berbeda dalam bahasa Indonesia, padi, gabah, beras dan nasi. Penerjemah akan berusaha menggunakan pengetahuannya untuk memutuskan padanan kata mana yang paling tepat untuk mengalihkan makna yang dimaksud dengan mempertimbangkan komponen-komponen makna dari kata rujukan. Kita lihat contoh berikut:
(1) Thailand reduces its export on rice recently due to the internal energy problem
(2) The rice was served in a luxurious dish with traditional touch.
Pada kalimat (1) penerjemah lewat konteks akan mempertimbangkan dengan pengetahuannya kira-kira padanan apa yang tepat untuk kata rice yang di eksport dari Thailand, apakah padi, gabah, beras, ataukah mungkin nasi demikian juga pada kalimat (2), manakah yang cocok dari padanan rice yang disajikan dengan piring-piring mewah dengan sentuhan tradisional.
Penting untuk diingat bahwa padanan yang cocok antara dua bahasa harus dicari bukan padanan kata tersebut secara terpisah tapi dengan cara mengidentifikasi rujukannya secara real lewat konteks situasi dan konteks kultural yang disediakan oleh teks bahasa sumber. Seperti yang dikatakan Larson (1984) bahwa makna hanya ada karena kontrasnya dengan kata lain yang memiliki ciri-ciri yang sama dan kontras dengan apa yang dirujuk dalam konteks situasi tertentu saat kata itu digunakan.
Kosa Kata dan Budaya
Kita telah memahami bahwa setiap bahasa memiliki konsentrasi kosa kata yang berbeda. Perbedaan ini sangat tergantung dengan budaya, dalam hal ini termasuk mata pencaharian, lokasi geografis, keyakinan dan cara pandang masyarakat pemakai bahasa tersebut terhadap dunia. Setiap masyarakat mempunyai perhatian terhadap kehidupan yang berbeda. Masyarakat pedalaman Papua, misalkan, memusatkan kehidupannya pada berburu dan mengumpulkan makanan serta ritual-ritual adat dari masyarakat berburu dan meramu. Sementara masyarakat di kota-kota pelabuhan memusatkan kehidupannya pada berdagang dan berlayar untuk niaga. Di belahan dunia yang lain, di Amerika, masyarakat memfokuskan kehidupannya pada pekerjaan, mencari uang, olahraga, sekolah dan keluarga. Perbedaan fokus kehidupan ini menciptakan perbedaan dalam kosa kata keseharian mereka
Sebuah masyarakat dengan kultur pertanian tentu akan menyimpan lebih banyak kosa kata yang berkaitan dengan bercocok tanam, tumbuhan dan musim dibanding dengan masyarakat dengan kultur berdagang. Bahasa Indonesia dengan kultur masyarakatnya yang agraris memiliki kosa kata tentang padi dan turunannya secara lebih detail dibanding bahasa Inggris. Kata padi, gabah, beras dan nasi, seperti pada contoh di atas, hanya memiliki padanan bahasa Inggris tunggal yaitu rice. Bahasa Inggris tidak menggunakan pembeda keempat kata yang menurut penutur bahasa Indonesia jelas hal yang berbeda. Perhatikan ungkapan di bawah ini:
(3) Nasibnya bagai telur di ujung tanduk dalam kompetisi mendatang.
(4) He is hanging on a thread in the coming competition.
Pesan yang sama diungkapakan dengan cara yang berbeda. Bahasa Indonesia menggambarkan kegentingan dengan ungkapan bagai telur diujung tanduk. Sementara, bahasa Inggris menggambarkannya dengan hanging on a thread, bergantung di seutas benang. Tiap bahasa dengan latar belakang kulturalnya memahami sesuatu dengan cara yang berbeda. Menurut hipotesis Saphir-Whorf dalam Wong (1999) komunitas linguistik yang berbeda memiliki cara yang pengungkapan yang berbeda dalam mengalami, membedakan dan mengkonstruksi realitas.
Masing-masing penutur akan menggunakan ungkapan-ungkapan figuratif dengan symbol-simbol dan ungkapan yang dekat dengan kulturnya. Ketika berhadapan dengan ungkapan-ungkapan demikian, seorang penerjemah harus berusaha seakurat mungkin dan mempertimbangkan tiap kata dari teks bahasa sumber dengan hati-hati sampai ia menemukan padanan yang tepat bukan saja padanan dalam rujukan benda, tapi sekaligus konotasi dan makna figuratif yang ada di dalamnya.
Makna Figuratif yang Timbul Karena Budaya; Metafora dan Similie
Metafora dan simili sangat berkait erat dengan budaya itulah makanya menerjemahkan metafora dan simili menjadi tidak mudah. Jika sebuah metafora diterjemahkan secara literal hasilnya bisa menjadi sangat fatal karena kata yang menjadi perbandingan memnpunyai makna figuratif yang berbeda pada bahasa sasaran. Kita ambil contoh berikut
(3) He is an ox
Pada bahasa sumber mungkin ox memiliki makna figurative liar dan jahat, tapi pada bahasa sasaran bisa saja diartikan sebagai gagah atau mungkin pemberani. Di sini kita menjadi tahu bahwa tidak semua metafora mudah dipahami. Jika metaphor diterjemahkan secara literal, kata perkata, ke dalam bahasa ke dua, metafor itu akan disalahartikan (Larson, 1984:150)
Metafora dan similie sangat berkaitan erat dengan budaya. metafora yang berkaitan dengan salju misalkan akan sulit ditangkap maksudnya oleh pembaca dari masyarakat yang berasal dari gurun. Perhatikan contoh similie berikut:
(4) The cloth is as white as snow
(5) Bajunya seputih salju
(6) Bajunya seputih tulang
(7) Bajunya seputih kapas
Variasi penerjemahan pada (5), (6) dan (7) dimungkinkan bila penerjemah menerjemahkan kalimat (4) ke dalam bahasa-bahasa dengan latar belakang budaya yang berbeda. Penerjemah akan mempertahankan kalimat The cloth is as white as snow secara literal menjadi ‘Bajunya seputih salju’ bila ia mendapati masyarakat pembaca bahasa sasaran masih mengenal salju. Tapi ia akan menerjemahkannya menjadi ‘Bajunya seputih tulang’ bila pembaca bahasa sasaran mempunyai latar belakang budaya yang tidak mengenal salju tapi, katakanlah, mempunyai budaya peternakan. Pada pembaca target dengan katakanlah latar belakang pertanian, ia mungkin akan menejemahkannya menjadi ‘Bajunya seputih kapas’.
Menurut Larson (1984) ada beberapa kesulitan yang mungkin kita dapati ketika kita menerjemahkan metafora atau similie. Larson menggambarkan anatomi metafora dan similie yang terdiri dari tiga bagian yaitu topic, image dan point of similarity. Lewat pemahaman anatomi metafora dan similie ini kita akan bisa memecahkan kesulitan penerjemahan metafora yang berkaitan dengan budaya. Pada similie di atas, misalkan, bisa kita gambarkan anatominya sebagai berikut:
the shirt :topic
snow :image
white :point of similarity
penerjemah harus mengenali ketiga unsur di atas sebelum ia menerjemahkan sebuah metafora atau similie secara akurat.
Pada similie, proses penerjemahan sedikit lebih mudah karena point of similarity sudah disebutkan pada kalimat tersebut. Similie ditandai dengan pemakaian kata seperti, bagaikan atau dalam bahasa Inggris like atau as. Kalimat “she is as bright as a star” mudah dipahami bahwa topiknya adalah she, sementara star adalah image. Di sini she yang merupakan persona dibandingkan dengan a star dalam hal kecerahannya atau keterangannya sebagai point of similarity.
Pada penerjemahan metafora, proses penerjemahan menjadi lebih sulit terutama. Yang pertama, mungkin image yang digunakan pada metafora tidak dikenali pada bahasa sasaran. Misalnya seperti pada kasus di atas ketika penerjemah menerjemahkan kalimat The cloth is as white as snow ke dalam bahasa sasaran dengan latar belakang geografis gurun pasir, misalnya, yang tidak mengenal salju. Kalimat That will be a slam dunk to their failure akan tidak mungkin diterjemahkan ke dalam masyarakat yang tidak popular dengan olahraga bola basket misalnya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih mengenal olahraga sepakbola dibanding bola basket sehingga penerjemah perlu mengganti image dengan sesuatu yang secara kultural lebih dekat dengan budaya bahasa sasaran. Terjemahan ‘Itu akan menjadi tendangan penalti bagi kekalahannya’ akan lebih bisa dipahami dari pada penerjemahan literalnya.
Di sini kita melihat bahwa image sebuah metafora atau similie sangat berkait erat dengan latar belakang kultural pemakai bahasa. Seorang penerjemah dengan demikian perlu hati-hati dalam mengganti image sebuah metafora dengan sesuatu yang lebih dekat dengan budaya bahasa sasaran.
Kesulitan yang kedua pada penerjemahan metafora atau similie adalah apabila topic tidak dinyatakan secara eksplisit. Misalnya pada kalimat The storm againts the parliament, topic dari metaphor tidak diungkapkan secara eksplisit. Storm pada metafora di atas mungkin saja berarti skandal, isu besar atau mungkin protes dari masyarakat. Di sini penerjemah perlu berhati-hati dalam menerjemahkan. Pemahaman konteks secara mendalam mungkin akan sangat membantu dalam menemukan topic seperti yang dimaksud penulis aslinya.
Kesulitan berikutnya adalah yang berkaitan dengan point of similarity. Pada similie, proses penerjemahan lebih mudah karena point of similarity diungkapkan secara eksplisit seperti pada contoh (4) sedangkan pada metafora, point of similarity tidak diucapkan secara eksplisit sehingga penerjemah harus pandai-pandai menemukan point of similarity nya. Seperti pada contoh kalimat (3) He is an ox. Ox bisa memiliki makna figuratif liar dan jahat atau bisa juga kuat. Point of similarity bisa dipahami secara berbeda oleh penerjemah yang berbeda
Kesulitan berikutnya yang berkaitan dengan point of similarity adalah apabila point of similarity itu dipahami secara berbeda pada kultur bahasa sumber dan kultur bahasa sasaran (Larson, 1984:251). Image yang sama pada sebuah metaphor bisa mempunyai makna figuratif yang berbeda pada dua bahasa dengan latar belakang Kultural yang berbeda. Ungkapan berikut bisa menjadi contoh
(8) My Lord is my shepherd.
Pada kultur bahasa sumber mungkin image shepherd dihubungkan dengan sifat kepemimpinan yang bijak. Sebuah figur yang melindungi yang menuntun binatang gembalanya ke jalan yang benar. Ini tentu mudah dipahami pada kultur masyarakat peternakan atau mungkin pertanian atau masyarakat yang mempunyai sejarah komunal demikian. Pada masyarakat dengan kultur yang berbeda mungkin image shepherd perlu dicari padanannya yang sesuai untuk mendapatkan point of similarity seperti yang terdapat pada teks bahasa sumber.
Penerjemahan dengan cara memberi perincian secara parafrase mungkin bisa juga mengatasi penerjemahan ekspresi figurative. Meskipun begitu seorang penerjemah tetap harus bisa memahami makna yang ada dibalik metafora dengan memahami image point of similarity seperti yang dimaksudkan teks bahasa sumber.
Culture-specific expressions
Lotman dalam Bassnet mengatakan bahwa tidak ada bahasa yang bisa bertahan hidup kecuali jika bahasa tersebut berada dalam kontekd cultural tertentu (Bassnett, 1992:14)
Meskipun kita hidup di tempat dengan lingkungan material yang mengalami banyak persamaan dan bahasa –bahasa yang dipakai manusia berisi ungkapan-ungkapan yang menggambarkan benda-benda ini, misalnya matahari, sungai, hujan, gunung atau anggota-anggota masyarakat seperti, bapak, ibu, saudara, tapi setelah manusia melewati waktu yang panjang dengan kondisi alamnya masing-masing mereka mengenbangkan budaya yang berbeda-beda seperti apa yang mereka persepsikan dalam pikiran mereka.
Benda dan realitas yang sama bisa dipersepsikan dengan cara yang berbeda pada masing-masing masyarakat dan budaya sehingga tiap bahasa memiliki banyak sekali ungkapan yang spesifik terhadap budayanya (Wong dan Shen, 1999:11). Orang Melayu menyebut ‘matahari’ sebagai matanya hari yang artinya kira-kira sesuatu yang membuat kita bisa melihat hari. Sementara, orang Jawa mempersepsikan ‘matahari’ sebuah benda dan realitas yang sama sebagai ‘srengenge’ yang artinya ‘sesuatu yang membara, menyala-nyala’. Jadi meskipun dua budaya, Melayu dan Jawa, merujuk realitas yang sama, tapi mereka mempersepsikannya dengan cara yang berbeda.
Bahasa Inggris memiliki dua kata untuk merujuk kata ‘rumah’ yaitu house dan home. Dalam bahasa Indonesia kata house dan home diterjemahkan hanya satu kata yaitu ‘rumah’. Kultur bahasa Indonesia tidak membedakan antara house dan home sehingga kita sangat kesulitan untuk menerjemahkan kata home ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat akurat karena home lebih dari sekedar rumah. Home adalah rumah yang memberikan seseorang kedamaian dan selalu dirindukan. Sementara house adalah sekedar rumah dalam bentuk fisik belaka. Seorang pembicara bahasa Inggris akan mengatakan “I will go home” dan tidak pernah mengatakan “I will go house”*. Perbedaan persepsi kultur bahasa Indonesia dengan kultur bahasa Inggris menyulitkan seseorang membuat terjemahan secara akurat.
Obyek alam yang sama juga digambarkan secara berbeda oleh kultur bahasa Inggris dan kultur bahasa China. Seperti yang dicontohkan Wong dan Shen (1999). Bagi masyarakat barat (bahasa Inggris) selempang awan nebula yang merupakan kumpulan bermilyar-milyar bintang di angkasa disebut ‘Milky Way’ yang kira-kira artinya ‘jalan susu’. Orang barat mempersepsikan galaksi yang berbentuk seperti awan berserak itu sebagai bentangan susu yang tumpah dan membentuk seperti jalan. Sementara kultur bahasa China mempersepsikannya sebagai sungai yang di dalamnya mengalir cairan logam perak. Mereka menamakan benda yang sama yang dilihat orang-orang dengan kultur bahasa Inggris ini ‘Yinhe’ yang kira-kira artinya sungai perak, ‘silver river’. Dua frasa di atas merujuk pada satu benda yang sama tapi mereka mengasosiasikannya sebagai dua hal yang berbeda karena perbedaan latar belakang budaya yang berbeda.
Kasus-kasus di atas disebut oleh Lado (1957:118) dalam Wong dan Shen sebagai “same meaning, different form”. Perbedaan bentuk tapi kesamaan arti terjadi pada ungkapan-ungkapan yang bersifat culture-specific atau culture-coloured. Jadi meskipun kata Milky Way dalam bahasa Inggris sering diganti dengan kata Yinhe sebagai padanannya dalam bahasa China, tapi keduanya akan menimbulkan konotasi yang berbeda ketika digunakan dalam bentuk metaforanya. Kata Milky Way dengan demikian mudah diasosiasikan dengan street/jalan. Tapi bila kata itu diganti dengan padanannya dalam bahasa China Yinhe/silver river maka image dari metafora itu menjadi tidak tepat. Mari kita lihat dua petikan puisi bahasa Inggris berikut yang merupakan terjemahan dari bahasa China yang diambil dari Wong dan Shen (1999).
(3) Passing an uneven pass I come aboard the boat UP into the Milky Way,...
(Tr. Wu Juntao)
(4) A thousand starry sails dance in the fading Milky Way. (Tr. Xu Jieyu)
Bagi pembaca bahasa Inggris akan terasa aneh membaca dua petikan puisi di atas. Bagaimana kapal/boat/sail berjalan di atas Milky Way yang oleh kultur bahasa Inggris di asosiasikan sebagai jalan. Di sini, seorang penerjemah harus berhati-hati dengan metafora bahasa sumber. Dia mungkin harus menerjemahkannya dengan memberi keterangan tambahan atau mungkin merubah image dari sail/boat/kapal menjadi car/van/mobil sehingga metafora lebih bisa dipahami oleh pembaca bahasa ssasaran
Ketika seseorang dari kultur barat mendoakan orang lain, dia akan mengatakan “God bless you” sementara orang China akan mengatakan “Pusa baoyou” yang artinya kira kira “Semoga sang Budda memberkati”.. Sehingga ketika seorang penerjemah menerjemahkan kalimat “God bless you” ke dalam bahasa China, dia akan menerjemahkannya menjadi “Pusa baoyou”(Semoga sang Budda memberkati) bukan kalimat yang dalam bahasa China berarti “Semoga Tuhan memberkati”. Di sini kita melihat bahwa sebenarnya pesan yang yang ingin disampaikan kedua kultur itu sebenarnya sama, tapi karena mereka mempunyai latar belakang cultural, termasuk nilai-nilai keyakinan, mereka mengungkapkannya secara berbeda
Contoh lain tentang bagaimana istilah yang bersifat culture-specific harus diterjemahkan secara hati-hati adalah puisi berjudul Surat dari Oslo karangan Toety Heraty, seorang wanita penyair yang banyak menulis puisi dengan latar belakang kultur Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn. Berikut ini cuplikan beberapa kalimatnya
Bahasa Indonesia
…………………………………………………….
lalu kini, siraman air kembang dahulu, midodareni
Sebelum esok menghadap penghulu-
Tarub, janur, gamelan dan gending kebogiro
…………………………………………………….
And now, the sprinkle of the water from an earthen jug-
Before facing God and his servant tomorrow
The nuptial awning, woven palm leaves, the orchestra
and wedding songs
(Machali, 2000:186-187)
Di sini kita melihat banyak sekali istilah-istilah yang sangat tipikal kultur Jawa. Berhadapan dengan istilah-istilah ini si penerjemah rupanya lebih memilih teknik lokalisasi. Ini tentu hak seorang penerjemah untuk apakah akan mempertahankan istilah-istilah yang bersifat culture-specific sehingga cita rasa cultural teks bahasa sumber mewarnai teks bahasa sasaran ataukah ia akan melokalisasi istilah-istilah itu sehingga pembaca lebih mudah memahami dengan resiko ada pesan cultural yang tida tersampaikan dalam teks bahasa sasaran.
Penutup
Bahasa dan budaya bisa kita andaikan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Bahasa di satu pihak merupakan produk budaya sebuah masyarakat tertentu sementara budaya adalah lahan di mana bahasa tumbuh dan berkembang. Bahasa dengan demikian merekam setiap nilai-nilaI, norma dan keyakinan yang terdapat pada kultur di mana ia tumbuh. Seorang penerjemah yang merupakan mediator interkultural harus memperhatikan aspek-aspek kultural dari teks yang sedang ia terjemahkan. Karena menerjemahkan pada hakekatnya adalah menyampaikan makna bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran di mana makna itu sendiri sangat terikat oleh kultur masyarakat penuturnya, seorang penerjemah mesti memilki kompetensi cultural ke dua bahasa secara memadai. Tanpa kompetenti ini ia tidak akan berhasil memproduksi teks terjemahan yang tidak akurat dan berterima.

DAFTAR PUSTAKA
Bassnett, Susan. 1992.
Hagfors, Irma. 2003. The Translation of Culture-Bound Elements into Finnish in the Post-War Period. Meta, Vol XLVIII, 1-2,
Hornby. Mary Snell. 1988. Translation Studies; An Integrated Approach. Amstredam/Philadelpia: John Benyamin Publishing Company
Katan, David. 1999. Translating Cultures; An Introduction to Translator, Interpreter
and Mediator. Danvers: St. Jerome Publishing.
Larson, Mildred A. 1984. Meaning-Based Translation. Lanham: University Press
of America.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Newmark, Peter. 1995. A Text Book of Translation. Hertfordsire: Phoenix ELT
Nida, Eugene. 2001. Context in Translating. Amsterdam /Philadelpia: John Benyamin Publishing Company.
ST-Pierre, Paul. Senapati’s, Fakir Mohan. Guntha, Chna Mana. 1997. Translating Culture Difference. Meta Vol XLILI, 2
Tomasouw, Pauline. 1986. Cross Cultural Understanding . Jakarta: Penerbit Karunika Jakarta.
Wardhaugh, Ronald. 1997. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Wong, Dongfeng. Shen. 1999. Factors Influencing the Process of Translating. Meta Vol XLIV,1

APA BAHASA ITU? Sepuluh Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12).
Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.


Daftar Pustaka
Ambary, Abdullah. Intisari Tata Bahasa Indonesia. Bandung: Djatnika. 1986.
Guntur, Henry. Pengajaran Kompetensi Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. 1989.
Mackey, W.F. Analisis Bahasa. Surabaya: Usaha Nasional. 1986.
Santoso, Kusno Budi. Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. 1990.
Soejono, Ag. Metode Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: C.V. Ilmu1983.
Syamsuddin, A.R. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka Jakarta. 1986.
Pangabean, Maruli. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia. 1981.
Walija. 1996. Bahasa Indonesia dalam Perbincangan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Wibowo, Wahyu. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia. 2001.